Jakarta - Perseteruan antara
Indonesian Super League (ISL) dan Liga Primer Indonesia (LPI) semakin seru. Dari kacamata
branding atau pembangunan merk, fenomena ini sangatlah menarik.
Kita ingat bagaimana pro dan kontra yang sama terjadi beberapa tahun yang lalu ketika
Pertamina membuka diri terhadap persaingan global. Alih-alih takut penjualannya terpuruk dan dikalahkan oleh pesaing, Pertamina justru melakukan pembenahan diri. Mereka mengganti logo legendarisnya dengan bantuan sebuah konsultan global dengan nilai ratusan juta rupiah.
Itu baru awal, belum termasuk renovasi pom bensin yang lebih modern, bersih dan bersahabat. Mereka juga tidak lupa memperkenalkan program "pasti pas" yang secara perlahan tapi pasti berhasil membangun kepercayaan konsumen terhadap citra dan paradigma Pertamina yang lama.
Contoh lain, pada skala yang lebih kecil, adalah persaingan antara
Gado Gado Boplo vs
Gado Gado Cemara. Kompetisi dua (merk) restoran spesialis gado-gado yang berbasis di Jakarta itu adalah dengan berlomba memberikan servis dan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan. Fokus keduanya bukan lagi hanya membuka
outlet baru tapi bagaimana menjaga kualitas outlet agar tetap konsisten.
Masih banyak contoh "kompetisi sehat" lainnya yang akhirnya justru membuat industri tersebut berkembang lebih baik. Dalam bukunya yang ditulis ditahun 1776,
The Wealth of Nations, Adam Smith mengatakan bahwa hanya dengan pasar terbukalah masyarakat akan mendapatkan keuntungan paling maksimal dan bermanfaat.
Persaingan, misalnya antara
Sariayu vs
Mustika Ratu,
Blue Bird vs
Express,
Hypermart vs
Carrefour, Indomaret vs
Alfamart, Coca Cola vs
Pepsi, Honda vs
Toyota, justru akhirnya membuat industri bersangkutan semakin maju dan berkembang. Industri yang maju dan berkembang pasti akan memberikan keuntungan yang lebih baik bagi masyarakat.
Hikmah perseteruan ISL vs LPI
Kembali kepada pokok perseteruan dua kompetisi sepakbola di Indonesia ini. Ke depan, diharapkan kedua liga tersebut akan berlomba membuktikan bahwa merekalah yang terbaik. Inovasi-inovasi baru mungkin akan tercipta, kualitas akan terus meningkat dan keuntungan akan semakin bertambah.
Memang, pada mulanya intensitas percekcokan ini akan meninggi, namun sejalan waktu kedua kubu akan sadar bahwa daripada menghabiskan waktu untuk saling serang dan saling tuntut lebih baik untuk fokus pada kompetisi masing masing dan berupaya menunjukkan kepada publik bahwa merekalah yang terbaik.
Sebagai sesama "merk lokal" justru kompetisi tersebut akan membuat merk yang bersangkutan teruji dan tidak mudah rontok. Untuk dapat menang dalam persaingan solusinya sederhana. Bagi PSSI, mereka harus berani membuka diri dan melihat ke dalam antara lain kelemahan yang selama ini menjadi ganjalan. Untuk itu evaluasi menyeluruh perlu dilakukan.
Riset independen penting dimulai terhadap semua
stakeholder mulai dari fans pendukung, pengurus, mitra hingga sponsor. Tujuannya adalah untuk dapat melihat keinginan dan harapan yang selama ini diinginkan para
stakeholder.
Kemudian PSSI harus dan berusaha untuk dapat merealisasikan keinginan tersebut dengan memperbaiki perangkat-perangkat yang menjadi sumber permasalahan. Bukan hanya itu, penting juga bagi PSSI untuk mencitrakan kembali dirinya sesuai dengan persepsi yang diharapkan oleh publik. Di sinilah tantangannya.
Ada pendapat bahwa citra kompetisi yang dijalankan oleh PSSI seperti saat ini jauh dari harapan publik. Untuk mengubah hal tersebut tentu tidak mudah. Persepsi yang telah tercipta cenderung sulit dihapuskan. Butuh waktu dan anggaran yang tidak sedikit.
Tapi di sinilah kekuatan PSSI. Dengan sumberdaya yang berpengalaman, dan dukungan resmi baik secara nasional dan internasional serta sejarah liga yang panjang, PSSI seharusnya mampu memperbaiki eksistensi mereknya. Daripada menghabiskan waktu untuk mengkoreksi dan menentang liga lain yang merupakan pesaing, lebih baik PSSI segera melakukan langkah-langkah pembenahan.
Sebaliknya, LPI harus menggunakan momentum ini untuk mengambil hati penggemar sepakbola nasional. Bagaikan seorang bayi, saat ini LPI baru akan mulai membangun kompetisinya sendiri. Persepsinya bisa dikatakan masih nol besar. Artinya, akan lebih mudah bagi LPI untuk membangun citra kompetisinya karena publik belum memiliki sebuah memori pencitraan terhadap LPI.
Selain itu secara skala, LPI bisa dibilang "lebih kecil" dibandingkan LSI-nya PSSI. "Lebih kecil" -- dalam teori pembangunan merek -- bisa lebih menguntungkan karena akan lebih mudah untuk dikontrol dan diperbaiki bila ada kesalahan.
Namun LPI harus berhati hati karena dengan pengalaman minim dan harapan publik yang begitu tinggi justru dapat membuat merk LPI akan terpuruk apabila harapan tersebut tidak menjadi kenyataan. Oleh karenanya, strategi yang bisa dipilih LPI adalah membangun merknya secara perlahan namun konsisten.
Program pencitraan tidak perlu dipublikasikan dahulu secara maksimal di tahun pertamanya. Justru mungkin lebih baik anggaran publikasi dipergunakan untuk menganalisa dan membuat regulasi regulasi yang dapat menyempurnakan liga tersebut di tahun-tahun mendatang. Menjalankan liga adalah sebuah masalah detil yang besar. Dengan "ukuran kecilnya" LPI akan lebih cepat dan fleksibel untuk melakukan terobosan dan perbaikan yang diharapkan.
Hikmah dari perselisihan ini adalah secara tidak sadar telah terjadi sebuah refleksi bagi kedua belah pihak untuk memperbaiki ekuitas atau kualitas merek masing masing. Semoga urusan gonjang-ganjing ini dapat segera diakhiri dan kedua belah pihak segera focus untuk melakukan hal terbaik yang akan atau selama ini mereka janjikan kepada publik sepakbola nasional yakni sebuah tontonan dan kualitas liga yang bermutu.
Selamat berkompetisi dan maju terus merk Indonesia!